OPINI: Stimulus Di Tengah Pandemi; Awas Korupsi

Iklan
OPINI: Stimulus Di Tengah Pandemi; Awas Korupsi
OPINI: Stimulus Di Tengah Pandemi; Awas Korupsi

Oleh : Hendra Y Malik, S.Ip

Pernah kah kita bertanya secara awam, bagaimana mesin ekonomi bekerja? Ditengah situasi sulit seperti ini, bagaimana bisa mengeluarkan pasar dari zona disequilibrium?

Beberapa pakar ekonomi sudah mulai memperingatkan di layar televisi swasta nasional, kecemasan dengan skala global mengenai dampak ekonomi pasca pandemik sudah muncul pada lembar depan surat kabar ternama, walau stimulus telah mulai digaungkan, namun sebenarnya narasi itu untuk siapa?

Lockdown mengharuskan masyarakat untuk berjauhan, meninggalkan pekerjaan, tak bisa beribadah bersama di mesjid, terkepung ketakutan untuk beraktifitas mencari penghidupan keluarga, rezeki yang terpaksa digantungkan kepada pemerintah.

Secara sederhana, ekonomi terbangun dengan adanya proses transaksi, komunikasi antar kebutuhan manusia. Transaksi dilakukan antara dua pihak, pembeli dan penjual. Masing- masing menggunakan uang atau kredit untuk membeli barang maupun jasa. Kemudian tempat bertemu atau berkumpulnya para pihak itu, disebut dengan pasar.

Berbagai pasar terbentuk karena akumulasi dari barang maupun jasa yang diperjual-belikan, seperti pasar ikan, pasar daging, pasar sayuran dan sebagainya. Yang menentukan harga ialah permintaan dan penawaran, walaupun pemerintah kerap turut andil mengendalikan harga dalam situasi tertentu. Seperti saat ini, pasar terkepung oleh pandemi virus Corona.

Beberapa produk kesehatan seperti vitamin dan masker mulai menunjukkan gejolak harganya, di beberapa tempat bahkan kebutuhan pokok juga menunjukan gejala yang sama. Sebut saja karena permintaan yang meningkat dan ketersediaan yang menipis, membuat produk bahkan masih diminati dengan harga berlipat.

Situasi ini adalah kondisi yang tepat yang mengharuskan pemerintah turun tangan mengambil alih untuk menyeimbangkan pasar kembali, jika tak ingin kondisi ekonomi menjadi bencana baru setelah pandemi ini berlalu.

Dalam pidatonya, presiden Joko Widodo menyebutkan telah menyiapkan stimulus sebesar Rp 405,1 triliun untuk memerangi wabah ini, ukurannya yang terbesar adalah untuk pemulihan ekonomi sebesar Rp 150 triliun (37%), kemudian Jaringan Pengaman Sosial (JPS) Rp 110 triliun (27%), untuk dana Kesehatan Rp 75 triliun (19%), serta insentif pajak sebesar Rp 70,1 triliun (17%). Sumbernya adalah APBN tahun 2020 terbaru yang telah disusun oleh pemerintah, dari kolom utang atau defisit yang sebelumnya ditentukan hanya Rp 307,2 triliun, membengkak menjadi Rp 852,9 triliun dengan perbedaan sebesar Rp 545,7 triliun.

Dari keadaan ini, kita mengetahui bahwa Negara ini tak se-kaya kelihatannya, tak memiliki sistem ketahanan fiskal yang siap digunakan sewaktu-waktu dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup bangsa selain dari hutang.

Data dari Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa rakyat yang masih hidup dibawah garis kemiskinan berjumlah 25,14 juta jiwa. Jika dengan asumsi semua dibagi secara merata dan tak ada kebocoran, maka mereka akan mendapatkan Rp 4,4 juta sebagai uang ketahanan untuk melalui masa krisis pandemi ini.

Jika stimulus ini tak diawasi denganketat, kita tak akan tahu seberapa lama penderitaan ekonomi mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan itu berlangsung. Selain kampanye jaga jarak aman sosial, dirasa perlu juga untuk mengkampanyekan jaga dana stimulus sosial, karena kita berkaca dari pengalaman penguasa, yang masih hingga kini cenderung korupsi. (Hym)

  Penulis adalah peneliti sosial kemasyrakatan yang berdomili di spanyol

Iklan