OPINI: Virus Corona dan Gagap Stimulus Ekonomi Indonesia

Iklan
OPINI: Virus Corona dan Gagap Stimulus Ekonomi Indonesia
OPINI: Virus Corona dan Gagap Stimulus Ekonomi Indonesia

Oleh:

Hendra Yudha Malik

Bendahara DPD I KNPI Jambi 2018-2021

Secara awam, apapun yang dilakukan pemerintah mengenai dana stimulus yang akan dikeluarkan itu, baik itu tersalurkan dengan baik ataupun tidak, baik dana itu sampai ketangan rakyat miskin atau hanya sampai pada kantong-kantong pejabat sipil ataupun militer, baik dana itu memberikan lauk-pauk di meja-meja warga seluruh wilayah Indonesia atau hanya lauk-pauk di meja-meja hiburan para pejabat, itu bukan lah suatu kerugian Negara dan bukanlah objek gugatan hukum perdata maupun pidana.‚¬

Sudah hampir selama empat bulan masyarakat dunia masih diteror oleh wabah virus Covid-19 sejak pertama kali virus ini tercatat di kota Wuhan, China. Indonesia mengumumkan secara resmi mengenai wabah virus Corona ini untuk pertama kalinya pada tanggal 2 Maret 2020 yang lalu, setelah beberapa kali menganggap enteng dengan guyonan politik khas orde Jokowi yang santai. Salah satunya adalah pernyataan presiden Jokowi yang diutarakan pada rapat terbatas kabinet tanggal 17 Februari 2020, untuk meminta industri pariwisata nasional memberikan diskon bagi wisatawan internasional yang ingin datang ke tanah air. Dengan kata lain, presiden tidak memahami tingkat keseriusan wabah Covid-19 bahkan setelah dua bulan lebih sejak pertama kali virus itu bermutasi ke dalam tubuh manusia, alhasil seperti yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia saat ini memiliki kasus Corona sebanyak 6.248 dengan total kematian 535 jiwa (data tanggal 18/4/2020), serta rasio korban meninggal di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Tenggara (hampir mencapai 15% menurut Worldometers). Rakyat harus membayar kegagapan itu dengan nyawa.

Tentu saat itu pemerintah dalam hal ini presiden Joko Widodo tak mengira akan jadi seperti sekarang ini, ia beserta jajarannya harus dengan jujur mengakui bahwa mereka telah lalai menjalankan tugas sebagai abdi Negara, karena mengubah Negara Indonesia yang seharusnya mengutamakan rakyat, menjadi Negara Korporasi yang mengutamakan ekonominya. Presiden telah salah tidak mengambil tindakan preventif dan menanggapi wabah ini secara serius seperti Negara Vietnam, Singapura dan Filipina. Dalam kegagapannya tersebut, presiden mengumumkan bahwa pemerintah akan memberikan paket bantuan ekonomi terbesar yang pernah dikeluarkan pemerintah Indonesia sejak krisis tahun 2008 yang lalu, stimulus terbesar sepanjang sejarah Republik Indonesia sebesar Rp 405,1 triliun akan digelontorkan oleh pemerintah untuk pemulihan ekonomi dan persiapan menghadapi global recession. Sayangnya niat baik itu di ragukan oleh beberapa tokoh-tokoh nasional, karena pasal-pasal superpower yang dipandang melebihi kekuatan kehakiman pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) nomor 1 tahun 2020, seperti pada pasal 27 ayat 2, yang menyebutkan secara jelas bahwa biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis bukan lah kerugian Negara, sebab itu segala objek Perppu bukanlah objek gugatan ke peradilan tata usaha Negara.

Secara awam, apapun yang dilakukan pemerintah mengenai dana stimulus yang akan dikeluarkan itu, baik itu tersalurkan dengan baik ataupun tidak, baik dana itu sampai ketangan rakyat miskin atau hanya sampai pada kantong-kantong pejabat sipil ataupun militer, baik dana itu memberikan lauk-pauk di meja-meja warga seluruh wilayah Indonesia atau hanya lauk-pauk di meja-meja hiburan para pejabat, itu bukan lah suatu kerugian Negara dan bukanlah objek gugatan hukum perdata maupun pidana. Pasal ini mengangkangi prinsip check and balance dalam sistem Negara demokrasi dan kekuasaan yudisial yang dimiliki oleh lembaga kehakiman. Tentu masih segar di ingatan kita tentang skandal BLBI dan kasus Century, ditengah kepanikan ekonomi global, selalu ada pihak yang ingin mengambil keuntungan, baik itu pejabat maupun pengusaha. Kita bisa membayangkan jika gugatan yang saat ini dilayangkan oleh tokoh-tokoh nasional di Mahkamah Konstitusi, ditolak ataupun ditangguhkan.

Sementara itu, konsep stimulus yang disegerakan ini, terkesan dipaksakan. Menurut beberapa pakar ekonomi ada hal yang lebih penting daripada memberikan rangsangan ekonomi pada rakyat agar rakyat berbelanja dan menghabiskan uang, yaitu peningkatan layanan kesehatan dan pengukuhan serta pemberlakuan social distancing secara masif, jika mengharapkan rakyat untuk menghabiskan uang dengan berbelanja agar produktif tentu perspektif yang keliru, karena situasi saat ini yang sangat tidak memungkinkan. Menurut tuan Chatib Basri (mantan menteri Ekonomi era SBY) jika orang mengurangi aktivitas-nya termasuk pergi berbelanja, menghindari keramaian, kontak, maka pola kebijakan yang tujuannya mendorong permintaan melalui belanja tidak akan efektif. Walau memiliki uang, orang akan mengurangi aktivitas belanjanya, kecuali melalui online. Namun pergeseran belanja riil ke online relatif terbatas, karena barang online juga akan tergantung kepada pasokan, bagaimana bisa pemasok kerja dari rumah tanpa pegawai? Jika begini arahnya maka Indonesia seharusnya sudah melakukan revolusi teknologi sejak dulu, menggunakan robot dan kepintaran artifisial atau buatan dalam kehidupan perekonomiannya secara makro maupun mikro.

Kondisi perekonomian global saat ini diramalkan akan mengalami reses, atau penurunan karena terganggunya rantai supply yang mempengaruhi pendapatan Negara-negara produktif dunia. Dengan kata lain, tiap-tiap Negara telah menyiapkan stimulus ekonomi bagi negaranya sendiri walau belum diberlakukan, seperti di Negara Amerika serikat mereka menyebutnya sebagai Quantitative Easing, memberikan kewenangan pada Bank Sentral-nya untuk membeli surat utang pemerintah agar pemerintah dapat meningkatkan pengeluaran Negara dengan pelayanan ataupun pembelian barang, sehingga jumlah uang yang beredar meningkat dan menurunkan beban masyarakat terhadap hutang yang tinggi. Sampai saat ini pemberian paket stimulus ekonomi bahkan bagi Negara sebesar Amerika Serikat masih harus dikaji lebih lanjut, yang saat ini diutamakannya adalah penanggulangan wabah dan ganti rugi serta pemberian bantuan logistik pada mereka yang membutuhkan.

Berdasarkan pengalaman Amerika Serikat dalam menanggulangi krisis finansial, ada beberapa cara yang bisa dijadikan acuan agar penurunan ekonomi ini tidak mencapai tahap kekacauan sosial, yaitu pertama adalah pemerintah dan sektor publik lainnya harus memotong anggaran pengeluaran, lalu dunia perbankan diharuskan untuk merestrukturisasi kredit atau hutang bagi masyarakat, dan peningkatan pajak bagi lapisan orang-orang kaya agar ter-redistribusi kekayaannya pada orang-orang miskin, dan yang terakhir adalah meningkatkan uang yang beredar dimasyarakat dengan mencetak uang kertas yang baru. Tujuan dari langkah-langkah ini adalah demi menyeimbangkan kondisi ekonomi secara makro. Tentunya, menteri keuangan sekelas Sri Mulyani, yang pernah menjabat sebagai direktur pelaksana Bank Dunia mengetahui hal ini, yang diragukan adalah sejarah kelam Bailout Century saat krisis finansial global (2008) juga berada pada saat beliau juga menjabat sebagai menteri keuangan Negara republik Indonesia, kebijakan yang hampir sama di situasi yang senada. (Hym)

   

Iklan